BIOGRAFI SUNAN GUNUNG JATI


Nama asli Kanjeng Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah. Ia adalah anak seorang puteri raja Pajajaran bernama Rara Santang atau Syarifah Mada’in, yang menikah dengan Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah, yang konon putera raja Mesir keturunan Bani Ismailiah. Syarif Hidayatullah memiliki seorang saudara bernama Syarif Nurullah (Suhadi, 1995/1996: 84).
Semasa muda, Syarif Hidayatullah pergi ke Makkah dan Baghdad untuk menuntut ilmu. Di Makkah ia belajar selama empat tahun, dan berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri serta Syekh Ataullahi Sadzili. Sementara di Baghdad ia belajar tasawuf (Djayadiningrat, 1913). Ketika Syarif Hidayatullah berusia 27 tahun, sekitar tahun 1475 TU, ia kembali ke tanah Jawa dan bermukim di Caruban dekat Cirebon. Di Cirebon, Syarif Hidayatullah kemudian menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati puteri dari Pangeran Cakrabuana, penguasa Cirebon. Setelah Pangeran Cakrabuana berusia lanjut, kekuasaan atas negeri Cirebon diserahkan kepada menantunya, yaitu Syarif Hidayatullah dan diberi gelar Susuhunan atau Sunan (Suhadi, 1995/1996: 84).
Ketika Kerajaan Islam Demak mendengar adanya seorang penyiar agama Islam di Cirebon, maka atas persetujuan para wali, Raden Fatah selaku Sultan Demak menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai Penetap Penata Gama Rasul di tanah Pasundan bergelar Sunan Gunung Jati dan termasuk salah seorang Wali Sanga. Tidak hanya itu, Sunan Gunung Jati ditetapkan pula sebagai pengusa negeri Cirebon (Suhadi, 1995/1996: 84). Dalam Babad Cirebon, Sunan Gunung Jati disebut Ratu Pandita. Artinya Syarif Hidayatullah mempunyai fungsi rangkap yaitu sebagai wali, penyebar agama Islam di Jawa Barat atau tanah Pasundan, dan sebagai raja yang memerintah dan berkedudukan di Cirebon (Tjandrasasmita, 1999: 284-285). Dari Cirebon agama Islam dengan mudah disebarkan ke seluruh wilayah Pasundan, sehingga hampir semua rakyat Sunda memeluk agama Islam (Suhadi, 1995/1996: 84).
Setelah Sunan Gunung Jati diangkat menjadi salah seorang wali, hubungan Cirebon dengan Demak semakin erat. Hubungan tersebut kemudian dikuatkan dengan pernikahan puteri Sunan Gunung Jati bernama Ratu Ayu dengan Pati Unus, putera Raden Fatah (Suhadi, 1995/1996: 84). Berita lain menyebutkan Ratu Ayu menikah dengan Sultan Trenggana, dan setelah Sultan Trenggana wafat, Ratu Ayu menikah dengan Fatahillah (Abdurachman, ed., 1982: 37).
Purwaka Caruban Nagari menyebutkan Sunan Gunung Jati menikah dengan Nhay Kawunganten, puteri dari Pajajaran dan mempunyai dua orang anak. Anak yang tertua bernama Sabakingking yang kemudian bernama Hasanuddin menjadi Sultan Banten. Anak yang kedua bernama Siti Winahon, lebih dikenal dengan nama Ratu Ayu yang kemudian menikah dengan salah seorang sultan Demak (Abdurachman, ed., 1982: 37).
Selain dengan Nhay Kawunganten Sunan Gunung Jati juga menikah dengan Nyi Mas Siti Babadan, dari Babadan, Cirebon. Perkawinannya yang lain adalah dengan Rara Jati dari kalangan ningrat Cirebon. Dari perkawinan ini lahir dua orang putera, yaitu Jaya Kelana dan Brata Kelana. Brata Kelana kemudian dikenal dengan nama Pangeran Seda Lautan (pangeran yang meninggal di laut). Isteri Sunan Gunung Jati yang lain bernama Nyi Mas Tepasari dari daerah Bumiayu, Brebes, memiliki putera bernama Pangeran Pasarean yang kemudian menurunkan para Sultan Cirebon (Abdurachman, ed., 1982: 37).
Sunan Gunung Jati juga disebutkan menikahi seorang puteri dari negeri Cina bernama Ong Tien. Diceritakan bahwa pertemuan Sunan Gunung Jati dengan Ong Tien terjadi ketika Sunan Gunung Jati mengadakan kunjungan ke negeri Cina. Dari pernikahan tersebut mereka tidak dikaruniai anak (Abdurachman, ed., 1982: 37).
Adanya perkawinan antara Sunan Gunung Jati dengan Ong Tien dari Cina secara langsung maupun tidak langsung berdampak pula terhadap hubungan dagang kedua negeri. Data arkeologi menunjukkan di sekitar Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan di kompleks pemakaman Gunung Sembung banyak ditemukan keramik yang berasal dari negeri Cina.
Pada tahun 1568 TU Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan di Pasir Jati, yaitu puncak Bukit Sembung, di tepi kota Cirebon. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, pemerintahan di Cirebon dilanjutkan oleh Pangeran Mas yang bergelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu (1570-1640 TU) (Graaf, 1986: 254). Purwaka Caruban Nagari menyebut Panembahan Ratu memerintah sampai tahun 1649 TU, tetapi sumber lain menunjuk tahun 1650 TU.
Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu, tahun 1628 TU, terjadi serangan Mataram terhadap VOC di Batavia, dan pada tahun itu pula terjadi ikatan kekeluargaan melalui perkawinan antara kakak perempuan Panembahan Ratu, yakni Ayu Sukluh dengan Mas Rangsang yang kemudian menjadi Sultan Agung Mataram. Ikatan perkawinan ini memperkuat hubungan antara Panembahan Ratu dengan Sultan Agung Mataram, dan merupakan kelanjutan hubungan yang sudah dibina sejak dari masa Senapati Ing Alaga (setelah menjadi raja bergelar Panembahan Senapati). Diberitakan bahwa pada tahun 1590 TU Raja Mataram, Panembahan Senopati, membantu Cirebon mendirikan atau memperkuat tembok yang mengelilingi kotanya. Perkuatan kota Cirebon tersebut dilakukan oleh Raja Mataram, karena ia menganggap Cirebon sebagai pertahanan keprajuritan di bagian barat kerajaannya.
Setelah Panembahan Ratu wafat pada tahun 1649/1650 TU, ia digantikan oleh cucunya yaitu Panembahan Adiningkusuma, yang kemudian bergelar Panembahan Ratu II. Tidak lama setelah diangkat menjadi raja, ia diundang ke Mataram bersama isteri dan kedua anaknya, yaitu Martawijaya dan Kartawijaya. Panembahan Ratu II sejak berada di Mataram tidak pernah kembali lagi ke Cirebon sampai meninggal pada tahun 1662. Makamnya di Girilaya, sehingga ia dikenal juga sebagai Panembahann Girilaya.
Setelah Panembahan Girilaya wafat, kekuasaan Cirebon terpecah menjadi dua akibat perebutan kekuasaan oleh kedua anaknya. Kekuasan Cirebon kemudian dibagi menjadi dua, yaitu Panembahan Martawijaya menjadi Sultan Sepuh I dengan gelar Abil Makarim Syamsudin, dan Pangeran Kartawijaya menjadi Sultan Anom I dengan gelar Abil Makarim Badrudin.
Di masa pemerintahan Sunan Gunung Jati sampai terpecahnya Cirebon menjadi dua kekuasaan yaitu sekitar abad XVII TU sampai XVIII TU, di Cirebon berkembang kegiatan sastra seperti kegiatan mengarang tembang keagamaan Islam, yang disebut suluk, yang bercorak mistik. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh ruhani Sunan Gunung Jati itu masih berlangsung hingga abad XVIII TU.
Sunan Gunung Jati dikenal sebagai peletak dasar Islam di Banten. Babad Banten menceritakan bahwa Sunan Gunung Jati dan puteranya Hasanuddin datang dari Pakungwati (Cirebon) untuk mengislamkan masyarakat Banten. Awalnya mereka mereka datang ke Banten Girang, kemudian ke selatan ke Gunung Pulosari, tempat 80 orang ajar (pendeta Hindu) tinggal. Mereka kemudian menjadi pengikut Hasanuddin. Selanjutnya diceritakan, di lereng Gunung Pulosari, Sunan Gunung Jati mengajarkan ilmu pengetahuan keislaman kepada anaknya. Setelah selesai mengajarkan ilmu keislaman, Sunan Gunung Jati kemudian memerintahkan anaknya supaya menyebarkan agama Islam kepada penduduk Banten.
Permintaan Sunan Gunung Jati tersebut kemudian dilaksanakan oleh Hasanuddin dengan berkeliling sambil berdakwah dari satu daerah ke daerah lain. Dalam menyampaikan agama Islam kepada penduduk lokal, Hasanuddin terkadang menggunakan cara-cara yang dikenal oleh masyarakat setempat, seperti menyabung ayam ataupun mengadu kesaktian. Cara-cara ini berhasil, terbukti dengan banyaknya pembesar negeri yang memeluk agama Islam dan bersedia menjadi pengikut Hasanuddin.
Pada tahun 1525 TU, seluruh daerah Banten dikuasai oleh tentara Islam dari Demak dan Cirebon yang dibantu oleh pasukan Hasanuddin. Atas petunjuk Sunan Gunung Jati, pusat pemerintahan yang berada di Banten Girang di daerah pedalaman kemudian dipindahkan ke dekat pelabuhan Banten. Pada pemindahan pusat pemerintahan Banten ke pesisir tersebut, Sunan Gunung Jati pulalah yang menentukan lokasi dalem (istana), benteng, pasar dan alun-alun yang harus dibangun. Ada beberapa alasan pemindahan pusat pemerintahan tersebut dari Banten Girang ke daerah dekat pesisir, yaitu:
  1. Ekonomi, berdasarkan potensi maritimnya, Banten berpotensi sebagai pelabuhan besar yang dapat menggantikan Sunda Kelapa.
  2. Mistis religius, kota dan keraton yang ditaklukkan harus ditinggalkan, karena dianggap sudah tidak memiliki kekuatan magis lagi.
  3. Politik, memudahkan hubungan antara pesisir utara Jawa dan pesisir Sumatera melalui Selat Sunda.
Di samping peran dalam proses pengislaman di daerah Banten, Sunan Gunung Jati bersama anaknya Hasanuddin selanjutnya memperkuat dasar Islam di Banten. Hal ini dibuktikan dengan dengan dibangunnya masjid dan tempat kegiatan keagamaan berupa pesantren.
Ada dua masjid yang dibangun di kota Banten pada masa pemerintahan Hasanuddin di daerah ini. Pertama, yaitu Masjid Agung Banten yang terletak di pusat pemerintahan berdekatan dengan Keraton Surosowan. Sementara masjid yang lainnya dibangun di daerah Pecinan letaknya agak ke barat dari bagian kota. Masjid yang berada di Pecinan tersebut telah runtuh, dan kini hanya tinggal menaranya saja. Adapun Masjid Agung Banten masih berdiri kokoh hingga saat ini. Masjid ini beratap tumpang lima susun, dan merupakan model atap tumpang masjid-masjid kuna sebagaimana masjid-masjid lainnya di Jawa.
Dalam masyarakat Islam, masjid merupakan tempat paling utama dalam mengembangkan syiar Islam. Hal ini diperkuat oleh beberapa babad yang menyebutkan tentang peranan masjid sebagai tempat bermusyawarah dan pertemuan untuk membahas masalah keagamaan.



2 komentar:

CHEAT WARNA DAN MATA PERJUANGAN SEMUT




1. Buka Perjuangan semut kalian.
2. Buka Cheat Engine (dan proses Browser nya).
3. Pilih 4 Bytes.
4. Untuk ganti mata.

-Buka Kartu kosmetology.
-Klik mata pertama.
-First scan angka 14.
-Klik mata ke-2.
-Next scan angka 22.
-Dapat address benar turunin.
-Ganti valuenya jadi 502 (itu mata yg seperti pada gambar).

5. Untuk ganti warna kulit.
-Buka kosmetology.
-Klik kulit pertama.
-First scan angka 14.
-Klik kulit ke-2.
-Next scan angka 22.
-Dapat address benar turunin.
-Ganti valuenya jadi 222 (Ungu), 246 (Pink), 238 (Seperti pada gambar)

1 komentar:

BIOGRAFI SUNAN KALIJAGA



Raden Mas Syahid yang bergelar  ”Sunan Kalijaga” adalah putera dari Ki Tumenggung Wilatikta (Bupati Tuban) dengan Dewi Sukati. Raden Syahid merupakan putera pertama yang lahir tahun 1455 dan beliau memiliki seorang adik bernama Dewi Rosowulan yang menikah dengan Empu Supo dan memiliki 2 orang anak yakni  Joko Tarub dan Supo Nem.
Istri pertama Raden Syahid (Sunan Kalijaga) bernama Dewi Saroh binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga memperoleh 3 orang putera, masing-masing ialah :
1.Raden Umar Said (Sunan Muria).
2.Dewi Ruqayyah.
3.Dewi Sofiyah.
Ada cerita lain yang disebut di dalam buku ”Pustaka Darah Agung” bahwa Sunan Kalijaga lama berguru dengan Sunan Syarif Hidayatullah Cirebon, maka beliau pernah kawin dengan Dewi Sarokah, yaitu anak puteri Sunan Syarif Hidayatullah dan memperoleh 5 orang anak, yaitu :
1.Kanjeng Ratu Pembayun yang menjadi isteri Raden Trenggono (Demak)
2.Nyai Ageng Panenggak yang kemudian kawin dengan Kyai Ageng Pakar.
3.Sunan Hadi (yang menjadi panembahan kali) menggantikan Sunan Kalijaga sebagai Kepala Perdikan Kadilangu.
4.Raden Abdurrahman.
5.Nyai Ageng Ngerang (makamnya di daerah Solo, Jawa Tengah).
Sunan Kalijaga disebut juga dengan nama-nama Raden Syahid, Raden Abdurrahman, Lokojoyo, Jogoboyo dan Pangeran Tuban. Tetapi yang disebutkan di dalam buku ”Babat Tanah Jawi” mengatakan, bahwa pada usia muda Raden Syahid pernah berguru dengan Sunan Ampel dan juga kepada Sunan Bonang, pada suatu saat beliau diperintahkan untuk menuju Cirebon berguru kepada Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Lalu diperintahkan bertapa di pinggiran sungai di suatu desa bernama ”Kalijaga”. Setelah selesai kembali ke Demak dan oleh kalangan Walisongo di Demak beliau diberi sebutan “Kalijaga”. Tempat pertapaan Raden Syahid yang bernama “Kalijaga” ini sampai sekarang masih ada petilasannya, yaitu di desa kalijaga, sebelah selatan Terminal Bus Induk kota Cirebon.
Pada umumnya para Walisongo namanya menjadi terkenal dengan tempat makamnya, tidak demikian halnya Sunan Kalijaga yang makamnya berada di Kadilangu, tetapi namanya tetap terkenal dengan sebutan “Sunan Kalijaga”.

Peninggalan Sunan Kalijaga

Masjid Kadilangu.
Sewaktu Sunan Kalijaga masih hidup, Masjid Kadilangu itu masih berupa Surau kecil. Setelah Sunan Kalijaga wafat dan digantikan oleh puteranya yang bernama Sunan Hadi (putera ketiga). Surau tersebut disempurnakan bangunannya hingga berupa masjid seperti terlihat sekarang ini. Disebutkan disebuah prasasti yang terdapat di atas pintu masjid sebelah dalam yang berbunyi : “Meniko titi mongso ngadekipun masjid ngadilangu pada hari Ahad Wage tanggal 16 sasi dzul-hijjah tahun tarikh jawi 1456, (ini waktunya berdiri masjid Kadilangu pada hari Ahad Wage tanggal 16 bualn dzul-hijjah tahun tarikh jawa 1456). Tulisan tersebut aslinya bertulisan Arab. Menurut tutur kata rakyat Masjid Kadilangu ini sudah beberapa kali mengalami perbaikan di sana sini, sehingga banyak bagian bangunannya yang sudah tidak asli, terutama bagian luarnya.
Di Cirebon tepatnya di desa Kalijaga telah terdapat sebuah masjid kuno, letaknya bersebelahan dengan petilasan pertapaan Sunan Kalijaga. Masjid ini oleh masyarakat Cirebon khusunya dikenal dengan nama “Masjid Sunan Kalijaga”.
Masjid tersebut sudah tampak tua, meskipun di sana sini sudah tampak ada perbaikan terutama bagian dinding luar. Berita-berita dari rakyat telah menyampaikan keterangannya yang berbeda-beda.
Ada yang mengatakan, bahwa masjid tersebut berdiri sebelum Sunan Kalijaga berada di tempat pertapaanya itu. Pada saat Sunan Kalijaga bertapa, setiap waktu sholat beliau mengerjakan sholatnya di dalam masjid tersebut. Sehingga masyarakat sekeliling pada waktu itu menyebutnya dengan nama masjid Sunan Kalijaga
Ada yang mengatakan, bahwa masjid tersebut berdiri setelah Sunan Kalijaga selesai melakukan tapa (semedi). Berhubung masjid tersebut letaknya berdampingan dengan tempat pertapaan Sunan Kalijaga, maka oleh masyarakat kemudian dinamai masjid “Sunan Kalijaga”.
Kedua pendapat tersebut memang sulit untuk dibuktikan kebenarannya, karena memang sampai sekarang tutur rakyat tersebut tidak dapat dibuktikan dengan bukti-bukti nyata peninggalan sejarah. Tapi yang jelas sampai sekarang masyarakat Cirebon pada menyebut masjid tersebut dengan nama “Masjid Sunan Kalijaga”.
Masjid ini tampak dari luar sangat angker, mungkin karena letaknya yang berada ditengah-tengah hutan yang penuh dengan ratusan binatang “kera”. Di sekeliling tersebut hanya ada penduduk yang jumlahnya sedikit, kurang lebih terdiri dari sembilan rumah. Masjid ini tampak kurang berfungsi, baik untuk berjamaah shalat lima waktu maupun sebagai tempat atau pusat kegiatan penyiaran agama Islam.
Sunan Kalijaga semasa hidupnya.
Sewaktu masih muda, Raden Syahid tergolong anak muda yang cerdas, trampil, pemberani, dan berjiwa besar, usia mudanya tidak disia-siakan begitu saja, tetaapi benar-benar dipergunakan untuk membesarkan dirinya meskipun tanpa bekal orang tuanya. Beliau suka berguru pada sesepuh. Ilmu-ilmu yang diambil dari gurunya antara lain: ilmu hakikat, ilmu syariah, ilmu kanuragan, ilmu filsafat, ilmu kesenian dan lain sebagainya, sehingga beliau dikenal masyarakat pada masa itu sebagai seorang ahli tauhid, mahir dalam ilmu syariat, mampu mengusai ilmu setrategi perjuangan dan juga seorang filasof. Bahkan ahli pula di bidang sastra sehingga terkenal juga sebagai seorang pujangga karena syair-syairnya yang indah, terutama syair-syair jawa. Lantaran ilmu-ilmu dan kemampuan pribadi yang dimiliki itu, Sunan Kalijaga termasuk salah seorang anggotaa kelompok ”Walisongo” atau ”Walisembilan” yang bergerak dibawah pengatuaran kekuasaan Sultan Patah di Demak. Beliau ditugaskan oleh kelompok walisongo ini untuk menggarap masyarakat di daerah-daerah pedalaman yang kondisinya sangat rawan, karena perilaku kehidupan mereka yang sangat tidak terpuji, misalnya didaerah yang sering terjadi pencurian dan pembunuhan, didaerah yang masyarakat yang suka berjudi, meminum minuman keras dan lain sebagainya.
Perjuangan Sunan Kalijaga.
Pada saat giat-giatnya para Walisongo berjuang menyiarkan agama Islam, maka Sunan Kalijaga yang termasuk di dalamnya tidak ketinggalan untuk bangkit memperjuangkan syiar dan tegaknya agama Islam, khususnya di tanah Jawa. Beliau termasuk kalangan mereka para Wali yang masih muda, tetapi mempunyai kemampuan yang luar biasa, baik kecerdasan dan ilmu-ilmu yang dimiliki, maupun kondisi umur dan tenaga yang masih muda bila dibandingkan dengan yang lainnya. Ternyata Sunan Kalijaga didalam gerak perjuangannya tidak lepas dari penugasan khusus dan bimbingan yang diberikan para sesepuh Walisongo. Karena itu Sunan Kalijaga benar-benar membanting tulang. Tidak hanya melakukan dakwah disuatu daerah saja, melainkan hilir mudik, keluar masuk hutan dan pegunungan, siang malam terus melakukan tugasnya itu, sehingga terkenal sebagai ”Muballigh Keliling”. Beliau memberanikan diri bertabligh atau berdakwah dengan melalui pertunjukan kesenian berupa ”Wayang” lengkap dengan gamelannya. Sedangkan cerita-cerita yang ada didalam lakon pewayangannya itu diramu dengan butir-butir tuntunan agama Islam dan diselingi dengan syair-syair jawa yang mengandung ajaran agama Islam pula, sehingga rakyat yang menonton dan mendengarkan cerita wayang yang dipertunjukan Sunan Kalijaga itu tidak merasakan bahwa dirinya sudah mulai kemasukkan ajaran agama Islam. Cara-cara dakwah Sunan Kalijaga yang semacam ini diterapkan dalam perjuangannya itu lantaran adanya pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
a.Bahwa rakyat dan penduduk tanah Jawa pada saat itu masih kuat dipengaruhi oleh kepercayaan agama Hindu dan Budha atau juga oleh kepercayaan warisan nenek moyang mereka dahulu, sehingga tidak mungkin begitu saja untuk dialihkan kepercayaannya. Karena itu harus pelan-pelan memasukkan ajaran agama Islam, tidak bisa melalui kekerasan.
b.Bahwa rakyat di tanah Jawa pada saat itu masih kuat di dalam memegang adat istiadat dan budaya nenek moyangnya, baik yang bersumber dari ajaran agama Hindu dan Budha, maupun kepercayaan animisme yang mereka yakini saat itu, sehingga tidak mudah meruban begitu saja terhadap adat istiadat dan budaya tersebut, tetapi Sunan Kalijaga justru membiarkan adat istiadat dan budaya tersebut tetap berjalan di tengah-tengah mereka, hanya saja sedikit demi sedikit adat istiadat dan budaya itu di masuki dengan ajaran agama Islam, baik yang menyangkut hakikat (tauhid) maupun syariah serta akhlaqul karimah.
Dengan pertimbangan keadaan rakyat yang seperti itu maka Sunan Kalijaga harus berfikir untuk menemukan cara yang paling tepat dalam perjuangan mengajak mereka memeluk agama Islam, maka ditemukanlah jalan yaitu bertabligh dengan menyuguhkan ”Kesenian Wayang” yang pada saat itu sedang digemari oleh masyarakat di tanah Jawa ini.
Tidak hanya cara itu saja yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga, tetapi beliau bahkan sering bercampur-campur rakyat yang boleh dikatakan ”abangan”. Demikian menurut berita rakyat yang masih bisa diterima. Suatu saat beliau bercampur dengan orang-orang yangt masih kotor perilaku terpuji, misalnya orang-orang yang suka mengadu ayam, berjudi, meminum minuman keras juga terhadap orang yang pekerjaannya mencuri dan lain sebagainya. Beliau bercampur dengan mereka itu tidak memperlihatkan ”sikap fanatik” terhadap mereka justru Sunan Kalijaga membina dan membimbing mereka secara pelan-pelan menuju jalan yang benar sesuai dengan tuntunan ajaran agama Islam, meskipun harus memutar otak dan membanting tulang. Mereka menjadi sadar, bahwa apa yang diperbuat se4muanya itu telah merugikan dirinya dan dapat berakibat fatal terhadap rakyat banyak.
Ada sementara orang yang beranggapan, bahwa karena sikap dan perilakunya Sunan Kalijaga yang terlihat ”sok campur dengan orang-orang jelek, sok campur dengan orang-orang abangan” lalu memberikan penilaian dan bahkan memberikan sebutan sebagai ”Wali Abangan”. Berdasar cerita diatas tadi, maka sebutan dan anggapan tersebut adalah ”tidak benar”, karena apa yang diperbuat oleh Sunan Kalijaga seperti itu sesungguhnya merupakan sikap menjalankan perintah dari Walisongo bukan karena sikap laku dirinya lantaran kebodohannya.
Hampir seluruh masa hidup Sunan Kalijaga benar-benar dipergunakan untuk berjuang demi syiarnya agama Islam, khususnya di tanah Jawa sebagaimana para Wali yang lainnya. Akhirnya beliau wafat, sayang sampai sekarang belum ada ahli sejarah satupun yang dapat menemukan tahun wafatnya. Bahkan juga kelahiran beliau hanya ada berita dari rakyat yang menyatakan bahwa Sunan Kalijaga wafat setelah berumur panjang sekali, sehingga pada masa hidupnya dapat mengalami masa kekuasaan 3 kerajaan, yaitu :
Pertama : masa kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Kedua : masa kekuasaan Kerajaan Demak.
Ketiga : masa kekuasaan Kerajaan Pajang.
Sampai sekarang haanya bisa diketahui makamnya, yaitu di desa ”Kadilangu” kabupaten Demak, kurang lebih 2 km dari Masjid Agung Demak.
Jasa-jasa Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga termasuk salah seorang dari kalangan Walisongo yang tergolong muda saat itu, lagi pula paling berat tugasnya maka apabila sejarah perjuangan beliau diteliti, sesungguhnya tidak sedikit jasa-jasanya. Antara lain ialah :
a.Bidang Strategi Perjuangan.
Seperti diketahui bahwa Walisongo didalam menyebarkan ajaran agama Islam di tanah Jawa ini tidak begitu saja melangkah, melainkan mereka menggunakan cara-cara dan jalan (taktik dan strategi) yang diperhitungkan benar-benar, memakai pertimbangan yang masak, tidak ngawur sehingga agama Islam disampaikan kepada rakyat dapat diterima dengan mudah dan penuh kesabaran, bukan karena terpaksa.
Sunan Kalijaga didalam menyebarkan ajaran Islam benar-benar memahami dan mengetahui keadaan rakyat yang masih kebal dipengaruhi kepercayaan agama Hindu Budha dan gemar menampilkan budaya-budaya Jawa yang berbau kepercayaan itu, maka bertindaklah beliau sesuai dengan keadaan yang demikian itu, sehingga taktik dan strategi perjuangan beliau disesuaikan pula dengan keadaan, ruang dan waktu.
Berhubung pada waktu itu sedikit para pemeluk agama Siwa Budha yang fanatik terhadap ajaran agamanya, maka akan berbahaya sekali apabila dalam mengembangkan agama Islam selanjutnya tidak dilakukan dengan cara bijaksana dan melaui jalan pendekatan yang mudah ditempuh. Para Wali termasuk Sunan Kalijag mengetahui bahwa rakyat dari kerajaan Majapahit masih lekat sekali dengan kesenian dan kebudayaan mereka, misalnya gemar terhadap gamelan dan keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan siwa Budha.
Setelah para Walisongo mengadakan musyawarah bersama, maka telah ditemukan suatu cara yang tepat sekali untuk mengIslamkan mereka. Cara tersebut yang menemukan adalah Sunan Kalijaga salah seorang yang terkenal berjiwa besar, berpandangan jauh kedepan, berfikir tajam dan kritis dan yang lebih menarik justru beliau berasal dari suku jawa asli lagi pula ahli seni, sehingga beliau paham terhadap seni-seni Jawa dan gamelan serta gending-gending.
b.Bidang Kesenian
Sunan Kalijaga ternyata mampu menciptakan kesenian dengan berbagai bentuknya. Maksud utama kesenian itu diciptakan adalah sebagai alat dalam bertabligh mengelilingi berbagai daerah, ternyata malah mempunyai nilai sejarah yang berharga bagi bangsa Indonesia. Kesenian yang diciptakan Sunan Kalijaga tersebut berupa ”Wayang” lengkap dengan gamelannya. Bahkan Sunan Kalijaga pernah memesan kepada orang yang ahli membuat gamelan, yaitu pesan supaya dibuatkan ”Serancak gamelan” yang kemudian diberi nama gamelan ”Kyai Sekati”.
Dan masih banyak yang diciptakan Sunan Kalijaga dibidang seni termasuk seni lukis dan lain sebagainya. Dari sinilah Sunan Kalijaga kemudian terkenal dikalangan masyarkat Jawa sampai sekarang sebagai seorang ahli seni.
Di lain pihak Sunan Kalijagajuga menciptakan karangan cerita-cerita pewayangan yang kemudian dikumpulkan dalam kitab-kitab cerita wayang dan sampai sekarang masih ada. Cerita-cerita itu masih berbentuk ceriat menurut kepercayaan jawa dengan corak kebudayaannya yang ada, tetapi sudah dimasuki unsur-unsur ajaran Islam sebanyak mungkin. Cara itu dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Karena adanya pertimbangan, bahwa rakyat pada saat itu masih tebal kepercayaannya Hindu Budha-nya.
Sebab-sebab itulah yang mendorong Sunan Kalijaga harus memutar otak dan membanting tulang sebagai salah seorang mubaligh untuk mengatur siasat dan menempuh jalan yang tepat, yakni mengawinkan ajaran Islam dengan kebiasaan dan kebudayaanmereka sebagaimana yang ditempuh pula para Wali yang lainnya.
Satu hal yang patut dicatat, menurt komentar rakyat, bahwa Sunan Kalijaga disamping sebagai mubaligh keliling kesana-kemari menyampaikan dakwahnya, ternyata beliau masih sempat pula mengarang cerita-cerita wayang terutama yang menagandung nilai filosofis dan berjiwa Islam, termasuk seni suara denagn bentuk syi-ir-syi-irnya yang mengandung Tauhid kepada Allah SWT.
c. Bidang lain-lain
Disamping jasa-jasa beliau tersebut tadi, maka masih ada jasanya yang lain, seperti pendirian Masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga tidak ketinggalan ikut serta membangun masjid bersejarah itu. Malah ada hasil karya beliau yang sangat terkenal sampai sekarang yaitu ”Soko Tatal” artinya tiang pokok dalam Masjid Agung Demak yang terbuat dari potongan-potongan kayu jati, lalu disatukan dalam bentuk tiang bulat berdiameter kurang lebih 70cm ini yang membuat adalah Sunan Kalijaga.
Makam Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga wafat dan dimakamkan di desa “Kadilangu” Demak. Menurut cerita rakyat menyatakan, Sunan Kalijaga bertempat di desa Kadilangu ini dimungkinkan karena pertimbangan supaya dekat dengan Demak sebagai pusat pemerintahan Islam saat itu. Dengan demikian memudahkan beliau mengadakan kontak dengan pusat pemerintahan. Sampai akhir hayatnya beliau berada di desa Kadilangu dan dimakamkan di desa ini juga.
Setiap hari makam beliau banyak dikunjungi orang yang kebanyakan bertujuan ziarah makamnya, meskipun kadang-kadang ada juga yang datang hanya ingin tahu makam pembuat sejarah penting di tanah Jawa ini. Pada hari-hari tertentu makam Sunan Kalijaga ramai, banyak orang berziarah, terutama hari Ahad, Kamis dan Jum’at. Bahkan lebih ramai lagi pada hari kamis malam jum’at kliwon, baik yang tua maupun yang muda. Terlihat pada waktu mereka berziarah di makamnya, ada yang membaca surat yaa-siin, ada yang membaca Tahlil dan ada yang terus melakukan riyadlah beberapa hari di makam tersebut.
Biasanya pada tanggal 10 Dzul-hijjah, makm Sunan Kalijaga juga ramai dikunjungi orang, karena ingin melihat atau mengikuti upacara penjamasan benda-benda pusaka terutama yang berupa “Kelambi Kyai Gondil”, sebagian tutur rakyat bukan saja Kelambi Gondil yang disucikan, tetapi juga “Kelambi Onto Kusumo” juga.

0 komentar: