BIOGRAFI SUNAN GUNUNG JATI
Nama asli Kanjeng Sunan Gunung Jati adalah Syarif Hidayatullah. Ia
adalah anak seorang puteri raja Pajajaran bernama Rara Santang atau Syarifah
Mada’in, yang menikah dengan Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah, yang
konon putera raja Mesir keturunan Bani Ismailiah. Syarif Hidayatullah memiliki
seorang saudara bernama Syarif Nurullah (Suhadi, 1995/1996: 84).
Semasa muda, Syarif Hidayatullah pergi ke Makkah
dan Baghdad untuk menuntut ilmu. Di Makkah ia belajar selama empat tahun, dan
berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri serta Syekh Ataullahi Sadzili. Sementara
di Baghdad ia belajar tasawuf (Djayadiningrat, 1913). Ketika Syarif
Hidayatullah berusia 27 tahun, sekitar tahun 1475 TU, ia kembali ke tanah Jawa
dan bermukim di Caruban dekat Cirebon. Di Cirebon, Syarif Hidayatullah kemudian
menikah dengan Nyi Ratu Pakungwati puteri dari Pangeran Cakrabuana, penguasa
Cirebon. Setelah Pangeran Cakrabuana berusia lanjut, kekuasaan atas negeri
Cirebon diserahkan kepada menantunya, yaitu Syarif Hidayatullah dan diberi
gelar Susuhunan atau Sunan (Suhadi, 1995/1996: 84).
Ketika Kerajaan Islam Demak mendengar adanya seorang penyiar agama
Islam di Cirebon, maka atas persetujuan para wali, Raden Fatah selaku Sultan
Demak menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai Penetap Penata Gama Rasul
di tanah Pasundan bergelar Sunan Gunung Jati dan termasuk salah seorang Wali
Sanga. Tidak hanya itu, Sunan Gunung Jati ditetapkan pula sebagai pengusa
negeri Cirebon (Suhadi, 1995/1996: 84). Dalam Babad Cirebon, Sunan
Gunung Jati disebut Ratu Pandita. Artinya Syarif Hidayatullah mempunyai
fungsi rangkap yaitu sebagai wali, penyebar agama Islam di Jawa Barat atau
tanah Pasundan, dan sebagai raja yang memerintah dan berkedudukan di Cirebon
(Tjandrasasmita, 1999: 284-285). Dari Cirebon agama Islam dengan mudah
disebarkan ke seluruh wilayah Pasundan, sehingga hampir semua rakyat Sunda
memeluk agama Islam (Suhadi, 1995/1996: 84).
Setelah Sunan Gunung Jati diangkat menjadi salah seorang wali,
hubungan Cirebon dengan Demak semakin erat. Hubungan tersebut kemudian
dikuatkan dengan pernikahan puteri Sunan Gunung Jati bernama Ratu Ayu dengan
Pati Unus, putera Raden Fatah (Suhadi, 1995/1996: 84). Berita lain menyebutkan
Ratu Ayu menikah dengan Sultan Trenggana, dan setelah Sultan Trenggana wafat,
Ratu Ayu menikah dengan Fatahillah (Abdurachman, ed., 1982: 37).
Purwaka Caruban Nagari menyebutkan Sunan Gunung Jati menikah dengan Nhay Kawunganten,
puteri dari Pajajaran dan mempunyai dua orang anak. Anak yang tertua bernama
Sabakingking yang kemudian bernama Hasanuddin menjadi Sultan Banten. Anak yang
kedua bernama Siti Winahon, lebih dikenal dengan nama Ratu Ayu yang kemudian
menikah dengan salah seorang sultan Demak (Abdurachman, ed., 1982: 37).
Selain dengan Nhay Kawunganten Sunan Gunung Jati juga menikah
dengan Nyi Mas Siti Babadan, dari Babadan, Cirebon. Perkawinannya yang lain
adalah dengan Rara Jati dari kalangan ningrat Cirebon. Dari perkawinan ini
lahir dua orang putera, yaitu Jaya Kelana dan Brata Kelana. Brata Kelana
kemudian dikenal dengan nama Pangeran Seda Lautan (pangeran yang meninggal di
laut). Isteri Sunan Gunung Jati yang lain bernama Nyi Mas Tepasari dari daerah
Bumiayu, Brebes, memiliki putera bernama Pangeran Pasarean yang kemudian
menurunkan para Sultan Cirebon (Abdurachman, ed., 1982: 37).
Sunan Gunung Jati juga disebutkan menikahi seorang puteri dari
negeri Cina bernama Ong Tien. Diceritakan bahwa pertemuan Sunan Gunung Jati
dengan Ong Tien terjadi ketika Sunan Gunung Jati mengadakan kunjungan ke negeri
Cina. Dari pernikahan tersebut mereka tidak dikaruniai anak (Abdurachman, ed.,
1982: 37).
Adanya perkawinan antara Sunan Gunung Jati dengan Ong Tien dari
Cina secara langsung maupun tidak langsung berdampak pula terhadap hubungan
dagang kedua negeri. Data arkeologi menunjukkan di sekitar Keraton Kasepuhan,
Keraton Kanoman, dan di kompleks pemakaman Gunung Sembung banyak ditemukan
keramik yang berasal dari negeri Cina.
Pada tahun 1568 TU Sunan Gunung Jati wafat dan dimakamkan di Pasir
Jati, yaitu puncak Bukit Sembung, di tepi kota Cirebon. Setelah Sunan Gunung
Jati wafat, pemerintahan di Cirebon dilanjutkan oleh Pangeran Mas yang bergelar
Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu (1570-1640 TU) (Graaf, 1986: 254). Purwaka
Caruban Nagari menyebut Panembahan Ratu memerintah sampai tahun 1649 TU,
tetapi sumber lain menunjuk tahun 1650 TU.
Pada masa pemerintahan Panembahan Ratu, tahun 1628 TU, terjadi
serangan Mataram terhadap VOC di Batavia, dan pada tahun itu pula terjadi
ikatan kekeluargaan melalui perkawinan antara kakak perempuan Panembahan Ratu,
yakni Ayu Sukluh dengan Mas Rangsang yang kemudian menjadi Sultan Agung
Mataram. Ikatan perkawinan ini memperkuat hubungan antara Panembahan Ratu
dengan Sultan Agung Mataram, dan merupakan kelanjutan hubungan yang sudah
dibina sejak dari masa Senapati Ing Alaga (setelah menjadi raja bergelar
Panembahan Senapati). Diberitakan bahwa pada tahun 1590 TU Raja Mataram,
Panembahan Senopati, membantu Cirebon mendirikan atau memperkuat tembok yang
mengelilingi kotanya. Perkuatan kota Cirebon tersebut dilakukan oleh Raja
Mataram, karena ia menganggap Cirebon sebagai pertahanan keprajuritan di bagian
barat kerajaannya.
Setelah Panembahan Ratu wafat pada tahun 1649/1650 TU, ia
digantikan oleh cucunya yaitu Panembahan Adiningkusuma, yang kemudian bergelar
Panembahan Ratu II. Tidak lama setelah diangkat menjadi raja, ia diundang ke Mataram
bersama isteri dan kedua anaknya, yaitu Martawijaya dan Kartawijaya. Panembahan
Ratu II sejak berada di Mataram tidak pernah kembali lagi ke Cirebon sampai
meninggal pada tahun 1662. Makamnya di Girilaya, sehingga ia dikenal juga
sebagai Panembahann Girilaya.
Setelah Panembahan Girilaya wafat, kekuasaan Cirebon terpecah
menjadi dua akibat perebutan kekuasaan oleh kedua anaknya. Kekuasan Cirebon
kemudian dibagi menjadi dua, yaitu Panembahan Martawijaya menjadi Sultan Sepuh
I dengan gelar Abil Makarim Syamsudin, dan Pangeran Kartawijaya menjadi Sultan
Anom I dengan gelar Abil Makarim Badrudin.
Di masa pemerintahan Sunan Gunung Jati sampai terpecahnya Cirebon
menjadi dua kekuasaan yaitu sekitar abad XVII TU sampai XVIII TU, di Cirebon
berkembang kegiatan sastra seperti kegiatan mengarang tembang keagamaan Islam,
yang disebut suluk, yang bercorak mistik. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh
ruhani Sunan Gunung Jati itu masih berlangsung hingga abad XVIII TU.
Sunan Gunung Jati dikenal sebagai peletak dasar Islam di Banten. Babad
Banten menceritakan bahwa Sunan Gunung Jati dan puteranya Hasanuddin datang
dari Pakungwati (Cirebon) untuk mengislamkan masyarakat Banten. Awalnya mereka
mereka datang ke Banten Girang, kemudian ke selatan ke Gunung Pulosari, tempat
80 orang ajar (pendeta Hindu) tinggal. Mereka kemudian menjadi pengikut
Hasanuddin. Selanjutnya diceritakan, di lereng Gunung Pulosari, Sunan Gunung
Jati mengajarkan ilmu pengetahuan keislaman kepada anaknya. Setelah selesai
mengajarkan ilmu keislaman, Sunan Gunung Jati kemudian memerintahkan anaknya
supaya menyebarkan agama Islam kepada penduduk Banten.
Permintaan Sunan Gunung Jati tersebut kemudian dilaksanakan oleh
Hasanuddin dengan berkeliling sambil berdakwah dari satu daerah ke daerah lain.
Dalam menyampaikan agama Islam kepada penduduk lokal, Hasanuddin terkadang
menggunakan cara-cara yang dikenal oleh masyarakat setempat, seperti menyabung
ayam ataupun mengadu kesaktian. Cara-cara ini berhasil, terbukti dengan
banyaknya pembesar negeri yang memeluk agama Islam dan bersedia menjadi
pengikut Hasanuddin.
Pada tahun 1525 TU, seluruh daerah Banten dikuasai oleh tentara
Islam dari Demak dan Cirebon yang dibantu oleh pasukan Hasanuddin. Atas
petunjuk Sunan Gunung Jati, pusat pemerintahan yang berada di Banten Girang di
daerah pedalaman kemudian dipindahkan ke dekat pelabuhan Banten. Pada
pemindahan pusat pemerintahan Banten ke pesisir tersebut, Sunan Gunung Jati
pulalah yang menentukan lokasi dalem (istana), benteng, pasar dan
alun-alun yang harus dibangun. Ada beberapa alasan pemindahan pusat
pemerintahan tersebut dari Banten Girang ke daerah dekat pesisir, yaitu:
- Ekonomi,
berdasarkan potensi maritimnya, Banten berpotensi sebagai pelabuhan besar
yang dapat menggantikan Sunda Kelapa.
- Mistis religius,
kota dan keraton yang ditaklukkan harus ditinggalkan, karena dianggap
sudah tidak memiliki kekuatan magis lagi.
- Politik, memudahkan
hubungan antara pesisir utara Jawa dan pesisir Sumatera melalui Selat
Sunda.
Di samping peran dalam proses pengislaman di daerah Banten, Sunan
Gunung Jati bersama anaknya Hasanuddin selanjutnya memperkuat dasar Islam di
Banten. Hal ini dibuktikan dengan dengan dibangunnya masjid dan tempat kegiatan
keagamaan berupa pesantren.
Ada dua masjid yang dibangun di kota Banten pada masa pemerintahan
Hasanuddin di daerah ini. Pertama, yaitu Masjid Agung Banten yang terletak di
pusat pemerintahan berdekatan dengan Keraton Surosowan. Sementara masjid yang
lainnya dibangun di daerah Pecinan letaknya agak ke barat dari bagian kota.
Masjid yang berada di Pecinan tersebut telah runtuh, dan kini hanya tinggal
menaranya saja. Adapun Masjid Agung Banten masih berdiri kokoh hingga saat ini.
Masjid ini beratap tumpang lima susun, dan merupakan model atap tumpang
masjid-masjid kuna sebagaimana masjid-masjid lainnya di Jawa.
Dalam masyarakat Islam, masjid merupakan tempat paling utama dalam
mengembangkan syiar Islam. Hal ini diperkuat oleh beberapa babad yang
menyebutkan tentang peranan masjid sebagai tempat bermusyawarah dan pertemuan
untuk membahas masalah keagamaan.
2 komentar: